Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal tanam,
khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan untuk
kepentingan sektor non-pertanian, serta kecilnya margin usaha tani yang
berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi,
serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan
jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai
akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya (rigid) pola konsumsi pangan sehingga
menghambat upaya pencapaian kemandirian/ketahanan pangan. Kondisi yang demikian
tersebut makin memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang
dihadapi.
Undang-undang No. 7
tahun 1996 tentang Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan “ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.
Sesungguhnya ruh dari program ketahanan pangan adalah
ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan secara adil dan
merata. Ketersediaan mengandung nilai semangat produktifitas, adapun
aksesibilitas mencakup bagaimana pemenuhan hak asasi serta keterjangkauan
termasuk dayabeli seluruh rakyat akan pangan. Produktifitas mengandung nilai
kemandirian dan keberdayaan. Adapun pemenuhan hak asasi rakyat akan pangan
berhubungan bagaimana proses demokratisasi pemerintahan berjalan dengan baik.
Ketahanan pangan bukan berarti kemandirian
dalam bidang pengembangan pangan. Namun, ketahanan pangan adalah kemampuan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan pangan bagaimanapun mereka
mendapatkannya. Ukuran dari ketahanan pangan adalah kemampuan daya beli
masyarakat dalam memperolah kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kemampuan
daya beli masyarakat dapat dilihat dari sumber pendapatan masyarakat dapat
memenuhi kebuthan masyarakat. Berikut adalah beberapa sumber pendapatan utama
masyarakat pada daerah dengan mayoritas perkebunan kelapa sawit, dan karet:
1. Perkebunan
Karet dan Kelapa Sawit
Dua komoditi perkebunan ini merupakan produk
unggulan di Provinsi Jambi. Mayoritas penduduk Provinsi Jambi mengusahakan
tanamaan karet dan kelapa sawit sebagai sumber pendapatan utama. Hampir seluruh
masyarakat Desa mengandalkan komoditi perkebunan karet dan sebagian kecil
perkebunan kelapa sawit. Komoditi perkebunan ini sangat menjanjikan karena
memiliki perawatan yang relatif mudah, dan memiliki hasil panen yang
menjanjikan. Meskipun fluktuasi harga tidak menyebabkan komoditi tanaman
perkebunan ini ditinggalkan oleh pemiliknya.
Umumnya Masyarakat Desa menjual hasil kebun
langsung kepada tengkulak / toke. Tidak adanya pasar lelang karet kerap
menjadikan hambatan masyarakat untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan
layak sesuai dengan kulaitas hasil kebun yang dimiliki. Namun, hasil dari
tanaman perkebunan ini masih snagat mencukupi kebutuhan hidup – hidup sehari –
hari.
2. Pegawai
Pegawai merupakan pekerja atau karyawan baik
negeri maupun swasta yang berpenghasilan tetap setiap bulannya. Pegawai banyak
menjadi primadona masyarakat terutama yang memiliki pendidikan tinggi. Nilai
penghasilan yang tetap setiap bulannya memudahkan dalam mengatur kebutuhan
keuangan untuk satu periode atau sampai waktu gajian berikutnya.
Sumber pendapatan utama merupakan sumber
penghasilan pokok untuk menopang kehidupan sehari – hari masyarakat. Selain
sumber pendapatan utama, sebagian masyarakat Desa juga memiliki sumber
pendapatan sampingan untuk menambah penghasilan. Berikut beberapa sumber pendapatan masyarakat Desa:
1.
Buruh Tani dan Buruh Perusahaan
Buruh tani / perusahaan
selain merupakan sumber penghasilan utama, dapat juga bergeser menjadi
sumber pendapatan sampingan. Masyarakat memanfaatkan waktu luang mereka dengan
bekerja sebagai buruh tani maupun sebagai buruh perusahaan. Rata – rata tingkat
pendidikan dan ekonomi yang rendah mendasari masyarakat hanya mampu bekerja
sebagai buruh.
2.
Pedagang Warung / Kios
Penduduk Desa memanfaatkan waktu luang mereka
untuk menambah penghasilan dengan cara membuka warung / kios. Warung / kios
biasanya dijaga oleh ibu – ibu sedangkan suaminya bekerja di ladang / kebun.
Ibu- ibu selain juga menjaga rumah mereka juga mampu untuk menambah penghasilan
keluarga. Selain itu, pada saat harga komoditi perkebunan rendah, warung / kios
dapat bergeser menjadi penghasilan utama.
3.
Tukang Kayu, Tukang Batu, dan Bengkel
Tukang kayu dan batu merupakan tukang yang
jika ada panggilan bekerja mereka akan dapat bekerja. Rata – rata tukang ini
memiliki pendapatan utama sebagai petani perkebunan. Bengkel motor juga buka
pada waktu tengah hari setelah pemilik / pekerja bengkel bekerja di kebun.
Aksesibiltas
pangan Desa ditentukan oleh tiga faktor, yaitu ketersediaan, konsumsi,
dan distribusi. Ketersediaan pangan akan menjamin tingkat ketahanan pangan
tersebut disuatu desa. Ketersediaan pangan di Desa dipenuhi oleh pasar. Kemudahan
akses jalan yang terletak di antara dua provinsi yaitu Provinsi Jambi dan
Sumatra Barat membuat kemudahan akses menuju daerah manapun.
Distribusi pangan yang merata ke semua
penduduk Desa merupakan faktor utama dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat.
Distribusi pangan dipengaruhi oleh kemudahan akses jalan dan terhindar dari
keterisoliran. Daerah yang terisolasi akan menyulitkan dalam mendistribusikan
bahan pangan ke daerah tersebut.
Konsumsi pangan erat kaitannya dengan
kemampuan daya beli masyarakat. Ketika kemampuan daya beli masyarakat tinggi
maka tingkat konsumsi pangan masyarakat juga tinggi. Tinggi berarti tingkat
pemenuhan gizi seperti karbohidrat, protein, dan vitamin tercukupi. Namun
ketika daya beli masyarakat menurun dan rendah konsumsi pangan hanya terkesan
seadanya. Masyarakat mengatakan hasil kebun cukup untuk makan seadanya saja
sudah senang.
Mayoritas masyarakat Desa mengandalkan
tanaman perkebunan karet dan sawit sebagai penghasilan utama. Ketika harga
kedua komoditi ini tinggi diatas harga batas kecukupan rumah tangga. Maka
kehidupan penduduk Desa sejahtera. Ukuran kesejahteraan ini dapat dilihat dari
kemampuan daya beli masyarakat dalam konsumsi pangan dan kemampuan dalam
meningkatkan gengsi mereka. Namun, pada saat harga dua komoditi ini terpuruk
dan terjun bebas, menjadikan masyarakat hanya mampu makan seadanya, dan
mengesampingkan gengsi.