Senin, 22 Januari 2018

CABAI: Harga Melambung, Siapa yang Untung?

Masyarakat selalu beranggapan jika harga cabai tinggi, maka petanilah pihak yang sangat diuntungkan. Mereka suka berhitung sederhana, jika bertanam cabai satu hektar dengan hasil panen minimum 5 ton, harga ditingkat petani Rp 50.000/kilogram, dan biaya produksi sekitar Rp50 juta, maka petani akan mengeruk keuntungan sebesar Rp 200 juta hanya dalam waktu sekitar 7 bulan. Sungguh sebuah analisis yang tidak salah jika kondisi cuaca sangat mendukung pertumbuhan tanaman mulai dari waktu penanaman hingga panen berakhir.
            Faktanya, saat harga cabai melambung tinggi seperti yang terjadi pada akhir tahun 2010 dan berlanjut hingga awal tahun 2011, justru mayoritas petani cabai yang mengalami kerugian. Banjir yang melanda bisa diantisipasi karena pada waktu dan daeah tertentu selalu terjadi banjir. Hujan dengan curah dan intensitas tinggi pun masih bisa diupayakan penanganannya untuk meminimalisasi kerusakan tanaman. Namun, datangnya  angin dengan kecepatan tinggi membuat banyak petani cabai tidak berkutik dan menyerah pasrah.
            Tingginya kecepatan angin akan merobek – robek daun dan menggoyang buah dan bakal buah sampai rontok, bahkan mampu mencabut perakaran tanaman. Belum lagi kondisi kelembapan dan suhu udara yang berubah – ubah akan meningkatkan serangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Salah satu yang paling parah dampaknya adalah penyakit antraknosa buah.

            Disinyalir, buah yang bisa dipanen pada situasi cuaca ekstrem tersebut hanya berkisar 10 – 20 % dari potensi produksi yang seharusnya. Pedagang cabai juga menanggung resiko besar karena kondisi fisik hasil panen mudah rusak dan tidak tahan lama. Namun, diantara kedua belah pihak, posisi pedagang lebig diuntungkan daripada petani. Sungguh sangat tidak adil. Padahal petani yang lebih banyak mengeluarkan modal, tenaga, pikiran, dan waktu untuk menunggu panen. Sementara itu, pihak pedagang yang justru menanggung resiko lebih kecil. Membaca fakta seperti itu, sudah saatnyalah petanilah yang seharusnya lebih Berjaya.  

disadur dari buku Panen Cabai Sepanjang Tahun penulis Ir Wahyudi : Agromedia 2011

Kamis, 18 Januari 2018

CABAI : Fluktuasi Harga, Bukan fenomena Biasa

Sikap masyarakat selama ini seperti sudah terbiasaketika harga komoditas sayuran, terutama cabai, naik turun dalam rentang setahun. Apalagi jika peningkatan dan penurunan harganya tidak terlalu signifikan. Namun, ketika lonjakan kenaikannya cukup drastic, masyarakat mulai berteriak. Semua pejabat unjuk bicara tentang sebab musababnya, bahkan saling menyalahkan tanpa memberikan solusi praktis jangka pendek untuk mengatasinya. Media massa pun menjadi punya topic hangat untuk dijadikan berita setiap hari. Sebenarnya sangat mudah dipahami jika harga cabai sampai melebihi harga daging dan respon mereka seperti itu. Mengingat juga masyarakat Indonesia sangat gemar makan masakan pedas.
            Banyak faktor yang dapat menyebabkan harga cabai berfluktuasi, diantaranya kebiasaan petani bertaman cabai mengiktui pola musim tanam sehingga pasokannya ke pasar tidak kontinyu. Masih rendahnya pengetahuan petani terhadap karakter tanaman cabai sangat terkait dengan hambatan pertumbuhan tanamn pada musim – musim tertentu adalah sebab lain. Dan tidak bisa dipungkiri, cuaca ekstrem yang melanda pertanian menjadi penyebab utama lonjakan drastic komoditas ini.

            Jika penanaman cabai dilakukan secara kontinu sepanjang tahun, dan sudah ada pemahaman petani untuk mengantisipasi hambatan musim, serta sosialisasi prakiraan cuaca ekstrem dari instansi terkait berjalan dengan baik, maka pasokan cabai ke pasar akan relative kontinu setiap saat. Jika hal ini bisa terwujud, maka fluktuasi harga cabai bukan lagi sebuah fenomena yang dianggap biasa, karena seharusnya memang tidak perlu terjadi. 

disadur dari panduan teknis cabai terbitan dari Agromedia 

Rabu, 17 Januari 2018

PARADIGMA PEMBANGUNAN PEDESAAN PARTISIPATIF

Pembangunan pedesaan pada masa yang lalu mendasar pada asas pemerataan yang penerapannya diarahkan secara sektoral dan pada setiap desa. Meskipun jenis dana / anggaran bantuan untuk pembangunan pedesaan bermacam – macam dan jumlahnya relative besar, tetapi jika dibagi secara merata, maka masing – masing desa memperoleh jumlah dana yang relative kecil, sehingga pemanfaatannya kurang maksimal.
Desa sebagai unit produksi (komoditas utamanya sector pertanian dalam arti luas) mempunyai peranan yang sangat penting sebagai penyangga daerah perkotaan. Kurang berhasilnya pembangunan pedesaan pada masa yang lalu, maka pada waktu sekarang ini paradigma pemerataan dan keadilan perlu dimodifikasi dengan (1) pendekatan spasial dalam bentuk pembangunan desa pusat pertumbuhan (DPP) dan kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa (KTP2D), dan (2) pembangunan dilakukan secara partisipatif.
Pendekatan yang diarahkan pada masing – masing desa itu (pada masa lalu) dapat diibaratkan seperti sebatang lidi yang berdiri sendri, jelas sangat lemah dan tidak bermanfaat, sebaliknya jika lidi – lidi tersebut dihimpun dan dipersatukan dalam bentuk sapu lidi akan lebih kuat dan bermanfaat (Desa Pusat Pertumbuhan dan Desa – Desa Hinterland dalam kawasan terpilih Pusat Pertumbuhan Desa).

Pada waktu yang lalu, pendekatan partisipatif melalui pertemuan dan kesepakatan warga desa yang telah dilakukan akan menghasilkan rumusan program yang merupakan daftar keinginan dan bukan sebagai kebutuhan banyak orang, sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat. Pada waktu sekarang, perencaan partisipatif pada suatu program pembangunan harus dilakukan melalui analisis permasalahan, analisis potensi dan analisis kepentingan kelompok dalam masyarakat, dengan menggunakan criteria yang terukur sehingga menghasilkan rumusan program pembangunan yang benar – benar dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Jadi perencanaan dilakukan secara bottom up ( dari lapisan masyarakat grass root) dan menerapkan pendekatan partisipatf dan spasial. 
disadur dari Buku " Membangun Desa Partisipatif" karya Rahardjo Adisasmita : Graha Ilmu